“Terima kasih sudah membuat acara obrolan yang sangat menarik, sampai kita betah berjam-jam zoom. Mulai hari ini saya sudah berkurang cemasnya, karena diskusi semalam terutama penjelasan-penjelasan konkret dr Indra yang keren.” Sri Asri Wulandari, alumni Smansa 89 Makassar, ketua KKSS Jawa Barat
IKASMANSAMKS.ORG – Meski narasumbernya dokter spesialis Onkologi nan langka, supersibuk, jangan dikira dia tak sombere’ dan jenaka saat presentasi. Meski penanggapnya kepala Inspektorat di kota terbesar di Indonesia bagian timur, jangan disangka garang dan pasang wibawa berlebihan.
Mereka supel, selalu menyungging senyum, bercanda dan takzim selama webinar yang dihadiri 28 orang alumni, sahabat mereka semasa SMA.
Itu kesan yang ditangkap ketika mengikuti webinar penanganan COVID-19 yang digelar Ikatan Alumni SMA Negeri I Makassar angkatan 1989 atau acap disebut SOSBOFI. Acara seri 2 ini bertema ‘Menjaga Diri dan Keluarga dari COVID-19’, Minggu 20 September 2020.
Ada beberapa alasan mengapa tema ini yang dipilih. Salah satunya karena trend pandemi yang lebih banyak mendera kelompok pria.
Lalu, masih efektifkah protokol atau atribut kesehatan dalam mencegah virus ini serta mengapa COVID-19 belum juga surut mendera warga, bagaimana pengalaman dokter atau praktisi kesehatan serta administrator kota atas pandemi ini.
“Ada riset yang menyebut 80 persen korban COVID-19 di seluruh dunia adalah pria,” kata host Kamaruddin Azis saat memulai acara sebelumnya menyerahkan proses moderasi webinar kepada Randan Bunga, alumni jurusan Fisika SOSBOFI yang berdomisili di Tangerang.
Paparan dr Indra
dr Indra Kadir, SpOnk(K) memulai paparannya dengan jenaka. “Saya tidak tahu mulai dari mana, saya bukan ahlinya, saya spesialis Onkologi, paparan saya buat dua slide saja,” kata penyuka bike riding ini menggoda teman-temannya.
Indra memulai dengan membagikan aneka gambar. Ada perempuan dengan masker unik dan disebut mahal, tukang cukur yang menggunakan stik saat potong rambut, masker mini hingga masker superlengkap di bandara.
Dia juga menyebut bagaimana warga beradaptasi dengan tidak lagi salam pakai telapak tangan hingga penggunaan disinfektan dan maraknya hoax di media sosial online.
Dia juga berseloroh. “Jika virus bisa masuk ke paru atau ke kerongkongan, bisa dong ya virusnya keluar menyebar lewat kentut?” katanya seperti hendak mengail tawa.
Ada beberapa hal yang disinggung dr Indra. Di antaranya, adanya istilah ODP hingga PDP. Hal yang menurutnya seharusnya tidak perlu muncul sebab ini membingungkan.
Kedua, perlu tidaknya rapid dan swab. Meski tidak memberikan penilaian tapi menurutnya rapid test ini sekadar screening.
“Kalau Swab itu semacam men-diagnosa. Itu pada swab, tetapi tetap juga ada fals negative mesti kemudian faktanya dia disebut positif,” katanya. Maksudnya, bisa saja hasil swab negatif tetapi faktanya orang itu positif terinfeksi COVID-19.
“Saya ingin sampaikan ke teman-teman untuk selektif memilih informasi yang masuk berkaitan virus ini,” tambahnya lagi.
Dia juga melihat bahwa sejak mulai marak di bulan Februari 2020 hingga saat ini, ada banyak kebijakan terkait penanganan COVID-19 ini yang berubah-ubah. “Cenderung berubah, tetapi patokan kita bagaimana sebagai warga?” tanyanya.
Dia mengatakan bahwa hal yang lebih penting saat ini adalah pencegahan. “Untuk itu kita perlu tahu sebaran virus ini, korbannya, kita harus paham bagaimana virus ini berpindah. Jika dia lewat droplet, lalu bagaimana kita mengantisipasinya, ya pakai masker,” imbuhnya.
“Tetapi perlu diketahui juga kalau COVID-19 ini kan menempel pada benda hidup. Tidak terjadi apa-apa tanpa medium hidup.”
Indra menyarankan peserta untuk selalu mengecek atau membaca kemampuan imun diri. “Saya kalau tahu badan saya ada yang tidak beres, saya tidak keluar rumah.”
“Lalu, patuhi protokol, pakai masker, cuci tangan pakai sabun. Tapi garda terdepan kita ini di bulu hidung,” katanya datar dan mengundang gelak. Maksud Indra, virus menyebar dari rongga pernapasaran sehingga harus paham bahwa secara alamiah sudah ada pelindung.
“Tetapi kalau sampai di paru-paru bisa berbahaya. Virus ini belum ada obatnya, beda dengan influenza. Selain itu, dia juga bisa berubah bentuk atau senyawa penyusunnya,” kata pakar kanker ini.
Meski demikian, dia menyebut jika ada yang terinfeksi maka ada sekurangnya 10 jenis obat yang bisa diberikan kepada penderita meski bukan ditujukan untuk atau sebagai obat virus ini.
“Jangan-ki sentuh mulut dan hidung jika dari luar atau pernah menyentuh benda-benda,” pesannya.
Data terbatas
Indra yang pernah menjadi kepala Puskesmas dan berdinas di Dinas Kesehatan Kota Parepare dan sekarang bekerja di RS Grestelina ini menyebut ada beberapa hal yang buat bingung atau kesulitan saat bicara penanganan COVID1- ini.
“Data kita sangat terbatas, data pada korban dan penelusurannya. Apalagi data usia. Dulu kan kita pernah mendengar pertama-tama virus ini ada, korban nomor berapa? sekarang tidak ada lagi,” ujarnya terkait tracing korban dan bagaimana mengidentifikasi dan mengisolasinya.
Padahal, lanjut Indra, dengan data yang tersedia, lengkap dan detil bisa digunkaan untuk melakukan tindakan pencegahan atau penanganan yang sistematis.“Kalau hasil perolehan swab setelah 4 hari, maka berarti data terkontaminasinya kapan?”
Selain data, dia juga menyebut bahwa perlu ada pengendalian atau pengawasan pada penyediaan masker, maksudnya pada masker yang standar.
Kita mungkin pernah dengar di Makassar, dulu, saat pertama kali, warga membeli masker meski harga mahal bahkan ada yang menimbun. Terkait masker, disinfektan, hand sanitizer hingga obat-obatan yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 perlu kewaspadaan pula.
“Jangan mudah terpengaruh hoax, kita harus bijak berperilaku di media sosial. Pahami bahwa disinfektan bisanya digunakan untuk benda mati. Dan perilaku kita saat ini juga mulai terpengaruh dengan adanya COVID-19 ini, pada lift, sekarang tersedia cotton bud, atau stik eskrim untuk menekan angka,” tuturnya.
Hal lain yang disampaikan adalah perilaku dalam bekerja. Pada ruang-ruang tertutup potensi penyebaran virus sangat besar.
“Makanya biasakan bekerja di ruang terbuka. Kalau pun di ruang dalam pastikan ada penyaring atau fasilitas pembersih udaha seperti di pesawat,” katanya.
Dia juga menunjukkan bagaimana korban yang terinfeksi COVID-19 yang dipasangi ventilator, hal yang disebutnya sangat memiriskan dan perlu diwaspadai. “Jangan sampai seperti itu,” katanya.
Pengalaman di Makassar
Zaenal Ibrahim, alumni Smansa Makassar angkatan 89 Jurusan Biologi yang kini sebagai Kepala Inspektorat Kota Makassar membenarkan apa yang disampaikan dr. Indra Kadir, SpOnk(K) tentang data.
“Kalau mau data, ini butuh modal, om dok. Berapa dana kita untuk bisa memenuhi ketersediaan data ini?” imbuh Zainal.
Menurutnya, dengan pemberlakuan PSBB beberapa waktu lalu di Kota Makassar, dana Pemkot yang tersedot untuk mengawal PSBB ini mencapai 60 miliar.
“Ada pertanyaan, seberapa kuat anggaran untuk menopang pademi ini? Kurangi keluar rumah kalau tidak penting,” katanya.
Sosok yang biasa disapa Enal ini menyebut perlu memahmi bahwa untuk menggerakkan negara, perlu pendapatan.
“Apa yang kita bisa lihat selama misalnya tiga bulan lalu, karena semua dibatasi? Hampir sepertiga anggaran untuk menopang krisis kesehatan ini, tapi di satu sisi, pendapatan, menurun juga hampir sepertiga, memang membingungkan, melarang masuk warkop, dari mana pajak diperoleh, ini dilema,” paparnya.
Hal kedua yang ditekankan Enal adalah perlunya koordinasi dan komunikasi para pemangku kepentingan.
“Yang bermasalah juga, terlalu banyak konflik di lapangan, ini kaitannya dengan pemahaman kita semua. Memang diperlukan rekayasa sosial, tetapi di sisi lain, pemahaman masyarakat juga berbeda-beda sementara di sisi lain, kebijakan itu bersifat seragam,” katanya.
Terkait persoalan ketersediaan data yang disinggung dr Indra, Zainal Ibrahim menyadari hal tersebut sebagai isu juga. “Memang kami di pemerintah tahu data tetapi untuk mem-publish, bukan maslaah kecil,” ucapnya.
Dia menyebut bahwa soal data ini agak dilematis karena akan berkaitan dengan dampak, siapa otoritas yang relevan dan pantas merilis. “Siapa yang mengatakan keluar? Boleh tidak rumah sakit mengatakan itu keluar?” tanyanya ke dr Indra.
“Misalnya, berapa yang kena, berapa yang disampaikan keluar,” imbuhnya. Zainal mengakui bahwa ada keinginan untuk menyampaikan atau membagikan data tetapi ini berkaitan lagi dengan dana tersedia.
“Ketakutan pemerintah daerah, terlalu banyak warga kena akan berdampak ke anggaran. Jadi satu-satunya cara adalah melindungi diri dan keluarga,” ucapnya.
Dia mencontohkan jika Dinas Pendidikan membuka sekolah, dengan protokol kesehatan yang tidak terlalu ketat, bisa-bisa seluruh wabah masuk ke rumah tangga.
Enal juga menyebut bahwa ada beberapa pejabat Pemda juga terpapar COVID-19. “Ganti-gantian yang kena. Kita semangat saja, berdoa saja, kalau kena semoga recovery dengan cepat. Kami di inspektorat, kami tidak mejalankan saat ini,” katanya.
Dia menyampaikan itu dengan menyebut bahwa target kinerja bisa terpengaruh apalagi pihaknya yang mengurusi inspeksi dinas-dinas atau unit kerja Pemkot, dari urusan puskesmas hingga RS Daya.
“Kesulitan kita memang adalah bagaimana meyakinkan masyarakat seperti di kecamatan untuk punya perilaku kesehatan yang baik.”
Diskusi berjalan menarik dan akrab, sesekali diselingi canda tawa. Beberapa peserta bertanya seperti Agustinus Hutabarat yang menyoal istilah OTG dan betapa berbedanya kebijakan di Kota Makassar dan Jakarta.
Dia juga menyayangkan karena ada beberapa kebijakan yang tak konsisten seperti yang diterapkan di Makassar dan Jakarta. “Masih perlukah sebutan OTG ini?” tanyanya ke Zainal Ibrahim.
Amrullah Arifin, IT manager di Jakarta, menanyakan standar kesehatan untuk ruang tertutup, terutama kantor, sementara Antonius Birana, ASN di Pemkab Gowa menyinggung soal maraknya pengambilan mayat korban COVID-19 dan perlu tidaknya menunggu tidak akifnya virus untuk kemudian dibawa pulang ke rumah.
Sri Asri Wulandari, alumni Smansa Makassar angkatan 89 yang juga ketua KKSS Jawa Barat yang hadir pada webiner ini mengaku lega setelah mengikuti acara ini.
“Sempat khawatir, apalagi setelah mendengar istilah OTG. Meninggalnya Sekprov DKI Jakarta, Syaifullah juga buat takut. Orang yang selalu mengingatkan untuk pakai masker di manapun beraktivitas meninggal beberapa hari lalu,” kata Sri saat menanggapi paparan dr Indra dan Zainal Ibrahim.
Sri menyebut demikian sebab serangan COVID-19 kini menyasar siapa saja termasuk keluarga dekat, warga biasa hingga dokter. Dia juga mengaku bahwa saat ini suasana interaksi sosial juga berubah. “Tak seperti dulu,” katanya.
Indra yang mendengar penjelasan Sri menimpali. “Suasananya berbeda, berdampak ke perilaku kita juga. Ketika pertama kali COVID-19, kalau pulang ke rumah harus telanjang di depan rumah melepas pakaian untuk dicuci. Bergegas mandi, sepulang dari kerja,” kata ahli bedah ini hendak bercanda.
Zainal Ibrahim menimpali bahwa ASN atau pegawai negeri sudah ditarget untuk menyelesaikan target kinerja dan di sisi lain memang ada himbauan untuk working from home.
Dia juga mengaku ada banyak rapat yang diikuti sehingga perlu beradaptasi dan tetap mengikuti protokol kesehatan.
“Ada protokol yang negara sudah tegaskan dan sebagai ASN harus patuh. Kita in sangat tergantung pada apa yang menjadi arahan gugus tugas dan treatment yang ada,” kata anggota gugus tugas pengendalian COVID-19 Kota Makassar ini.
Di ujung acara, moderator acara Randa Bunga menyampaikan lima poin penting sebagai kesimpulan sekaligus sebagai reminder untuk semua.
Pertama, mari proteksi diri sendiri sebagai langkah utama, pakai atribut kesehatan standar. Kedua, mari jaga lingkungan atau keluarga.
Ketiga, pastikan untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak mudah percaya berita yang simpang siur atau hoaks. Keempat, mari mengadopsi protokol kesehatan, pagari orang-orang di sekitar kita. Kelima, mari berdoa semoga terhindar dari COVID-19.
Penulis: K. Azis