Ada satu hal dimana banyak kolega atau jejaringnya yang typo saat menulis namanya, kadang Sulfikar, Zulfikar, kadang Ficar, bahkan ada yang nulis Sulpikar. Kalau saya tidak, Zulficar, Vicar, atau Piken.
IKASMANSAMKS.ORG – Saya kenal pertama kali dari tampilannya yang ‘rada maskulin’ saat di sekolah menengah atas di Kota Makassar.
Saya kelas dua, dia kelas satu. Rambutnya yang ikal digunting pendek, sering gulung lengan baju dan kancing baju terbuka satu dari jumlah normal adalah jejak tipikalnya sejak itu.
Saya juga pernah dengar kalau dia ikut olahraga bela diri Karate. Kala itu. Beberapa kali santer terdengar kabar kalau dia hendak digebuk anak-anak SOSBOFI (angkatan 89), angkatan saya.
Tapi dia lolos masuk kuliah di Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas setahun setelah saya. Saya tidak pernah tanya apakah itu pilihan pertama atau kedua, tapi saya yakin itu pasti pilihan kedua. Serupa saya. Jika pilihan pertama saya kedokteran, saya kira dia pilih kedokteran pula.
Jadilah kami satu program studi. Yang saya pahami kami bukan tipe pengejar ranking. Meski datang dari Smansa Makassar, kami bukan mahasiswa yang rajin duduk manis di bangku kuliah.
Kadang telat masuk kelas, kadang masih main karambol atau masih bersimbah peluh karena main bola di sudut Unhas.
Seperti saya, saya kira, diapun bukan aktivis militan seperti dari barisan HMI atau IMM, tapi kami sama, ikut menyibukkan diri saat Basic Training, dan lain sebagainya.
Pendek cerita, layaknya anak-anak Kelautan Unhas dari tahun 1988 hingga 1996, kami termasuk satu shio, kampus adalah tempat bersenang-senang di koridor, di ruang senat sembari mencandai ‘calla’ teman, main karambol, main bola, di Warung Sammone, hingga aktif menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru dan menguji kadar maskulinitas itu.
Anda tahu maksud saya kan?
Jika dia termasuk paling sangar saat menerima mahasiswa baru, saya dua level di bawahnya saat berhadapan mahasiswa baru.
Meski begitu, saya lebih sering terlihat di ruang senat ITK dibanding dia. Saya sering mondok di senat sementara dia saat itu bergaul dengan anak-anak Kelautan yang lebih modis, kekinian dan ‘kota’.
Nama-nama seperti Luky, Chona, Kemal, Kun (alfatihah), Luky Japong, Rastina, Rantih, Ge’, Jay, adalah sahabatnya, teman seangkatan 90. Sementara saya lebih banyak main tenis dan menyiapkan malam untuk begadang di koridor senat.
Sebagai teman kuliah, saya kerap menyandingkan angkatan Vicar yang 90 dan angkatanku 89 sebagai mitra strategis pada dinamika perjuangan Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Seperti pasang surut relasi angkatan tetapi gelombang saat bicara spirit perjuangan kelautan. Buktinya, kami satu tim pada salah satu proyek keren antara Unhas dan World Wide Fund Indonesia Program saat itu di Taka Bonerate, Selayar tahun 1995.
Saya, Jaya, Kun, Kemal, Ipul, Syaf, Madonk, atau campuran 90 dan 89 menjadi anggota riset. Riset S1 ini yang kemudian menghantar kami sejauh tapak perjalanan seperti saat ini. Riset yang fenomenal dan langka sesudahnya.
Pria yang saya ceritakan di depan datang belakangan ke Taka Bonerate, tahun 2001, sebagai konsultan ‘meshing exercise’ untuk pengelolaan terumbu karang di atol ketiga terbesar dunia itu. Dia datang dengan gelar alumni S2 di Cardiff University Inggris.
Saya termasuk yang tidak heran dengan pencapaiannya ini. Bisa jadi karena sama-sama anak Smansa, ‘bandel tapi jeli’.
Dia lolos seleksi British Council, sementara saya tidak. Dia sekolah di luar negeri, saya mendedikasikan waktu dan tenaga untuk proyek-proyek sosial LSM kami saat itu, Lembaga Pengkajian Pedesaan Pantai dan Masyarakat (LP3M).
Tahun 2008 saya sempat bersua dia di Jakarta dengan rambut ikalnya yang panjang. Dia datang ke booth JICA Indonesia dimana saya diminta jaga booth. Datang pula Bang Ben Baharuddin Nur, pria yang banyak membantu kami berdua.
Atas rekomendasi Bang Ben, saya bisa jadi konsultan Coral Rehabilitation Management Program fase I kala itu, kawan kita itu pun sempat join sepulang dari Inggris.
Kawan kita itu, M. Zulficar Mochtar, Vcan atau Piken, panggilan teman-temannya. Tanggal 22 Juli 2021 kemarin berulang tahun ke-50. Karena itu, saya menulis catatan remeh ini.
Zulficar adalah salah satu dari sembilan pedang legendaris yang dimiliki Rasulullah SAW. Dari segi bahasa, bermakna berasal dari fiqār yang artinya “pembedaan atau pembagian”. Jadi Zulficar diartikan sebagai pembeda antara benar dan salah.
Jika googling, namanya disebut ketua Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia, Kepala BRSDM Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen Perikanan Tangkap hingga 2020.
Saya hadir saat pertama kali dilantik sebagai kepala BRSDM KP oleh Menteri Susi Pudjiastuti, tahun 2016. Demikian pula saat dilantik sebagai Dirjen Perikanan Tangkap.
Dia pula yang memperkenalkan saya ke Manteri Susi kala itu – meski menyebutnya kalau MKP Susi sudah lama ingin ketemu setelah banyak membaca postingan-postingan blog saya. Selama hampir tiga tahun, kami intens ketemu di KKP.
Hal yang saya sebut sebagai upaya untuk menyempurnakan pendekatan pembangunan kelautan dan perikanan agar tidak melulu teknokratik, top down atau ‘sedikit-sedikit Pemerintah’ saat bicara solusi. Semacam pergerakan bersama untuk bertemu di muara kolaborasi (halah).
Piken, sebelum menjadi pejabat eselon satu di KKP adalah team leader untuk salah satu proyek The International Fund for Agriculture Development bernama Coastal Communitty Development Project.
Sebelum hengkang dia sempat infomasikan bahwa ada lowong Konsultan Komunikasi di proyek ini. Saya pun gabung.
Pendek cerita, saya merasa bersyukur bisa berinteraksi dengannya sejak sekolah, sejak di kampus hingga menjadi alumni Unhas dan gandrung kelautan dan perikanan. Saya masih menganggap kami ‘lawan seperjuangan’.
Sesungguhnya, saya banyak mencecap hikmah perjalanan bersama dengannya, atau kebetulan bertemu dengannya, semisal saat bersua di Wakatobi, di Natuna, Benoa Bali hingga saat melayang bersama di atas Bekasi dalam perjalanan ke kampus-kampus tenar seperti ITB, Unpad. Juga saat ke Tegal hingga ke Kupang. Di Kupang, saya bekerja untuk CCDP-IFAD sementara dia kepala BRSDM.
“Bapak fokus jadi penulis kelautan dan perikanan saja. Itu luar biasa. Tidak usah ke mana-mana,.” Saya masih ingat pesannya ini saat dia sayonara dari CCDP IFAD dan masuk ke kantor Gambir.
Lebih dari itu, sebagai bahan renungan, saya masih menganggap banyak pokok-pokok pikirannya tentang solusi atas isu-isu kelautan dan perikanan bertumpu pada bagaimana negara bekerja lebih cermat pada pengelolaan data dan dana.
Sementara saya, lebih berharap pada penguatan organisasi masyarakat sipil untuk mampu menerima estafet pengelolaan atau mandat tanpa harus sepenuhnya bergantung pada pihak luar.
Dia menaruh perhatian pada bagaimana perbaikan sistem, tools, atau regulasi, sementara saya lebih memilih fokus pada kerja-kerja mendorong partisipasi grassroot untuk bisa masuk dalam tata kelola itu. Tidak mengapa jika saya menyebut diri sebagai pekerja teknis fasilitasi sementara dia pada perangkaian tata kelola sistemik, strukturalis.
Di beberapa event anak-anak Kelautan Unhas, termasuk di grup sejak Blackberry Messenger pun, dialektika, diskursus, perdebatan saya dan dia seperti terkait relasi pusat-daerah, pendekatan teknokraktik atau partisipatif.
Atau, tentang bagaimana memandang campur tangan politik pada pembangunan kelautan nasional, atau konten fasilitasi yang saya sebutkan di atas kerap menjadi tema hangat.
Sesekali disertai canda, sesekali disertai left grup. Saya pernah dua kali left grup, sementara dia tidak sama sekali.
Oh iya, ada satu hal yang banyak kolega atau jejaringnya yang typo saat menulis namanya, kadang Sulfikar, Zulfikar, kadang Ficar, bahkan ada yang nulis Sulpikar. Kalau saya tidak, Zulficar, Vicar, atau Piken.
Begitulah. Selamat ulang tahun bos V, semoga kian jeli di usia setengah abad.
Kapan main futsal lagi? Menguji strategi perjuangan antara Cattenacio atau Total Footbal?
Penulis
K. Azis | Tamarunang, 22 Juli 2021