Opini Sudirman Nasir: Kartini, COVID-19 dan pernikahan anak

Opini Sudirman Nasir: Kartini, COVID-19 dan pernikahan anak
Dua perempuan Bajo Pulau Keledupa Wakatobi. Masyarakat Bajo salah satu komunitas yang disebut masih rentan praktik pernikahan dini (dok: K. Azis)

IKASMANSAMKS.ORG – Orang Indonesia merayakan Hari Kartini setiap tahun pada 21 April untuk mengingat peran kunci Raden Ajeng Kartini dari Jepara (Jawa Tengah) sebagai pelopor gerakan pencerahan di Nusantara selama masa kolonial.

Kartini memang  termasuk orang pertama di Hindia Belanda yang menyebarkan pentingnya mengakses ilmu pengetahuan modern dan mengejar kemajuan, termasuk di kalangan anak perempuan.

Surat-suratnya kepada J.H Abendanon yang berwenang melaksanakan  kebijakan  Politik Etis  (Politik Balas Budi) di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 kemudian diterbitkan di sebuah majalah di Negeri Belanda. Ini adalah manuskrip yang menginspirasi tidak hanya untuk kalangan perempuan tetapi juga untuk kalangan laki-laki dan mereka yang  mendukung kemajuan.

Selain itu, Kartini adalah pendukung kuat peningkatan akses anak perempuan/perempuan muda pada  pendidikan modern dan bersama saudara-saudaranya mendirikan beberapa sekolah untuk mereka.

Kartini adalah sosok mengagumkan namun kehidupan pribadinya tragis. Meski berhasil lolos dari pernikahan anak berkat dukungan ayah dan kakak laki-lakinya yang tercerahkan, dia tidak dapat menghindari pernikahan poligami dan sayangnya meninggal hanya beberapa hari setelah melahirkan pada tanggal 17 September 1904. Kartini meninggal muda di usia yang baru 25 tahun.

Perkawinan anak jelas sudah biasa pada zaman Kartini dan ironisnya masih merajalela di Indonesia abad ke-21. Pandemi COVID-19 juga jelas memperbesar kejadian praktik berbahaya ini.

READ:  Liga futsal Smansa Makassar di Jakarta sukses, Phala M Hafied: dukungan banyak pihak

Ada semakin banyak laporan yang mengingatkan kita akan dampak ekonomi dan sosial yang parah dari COVID-19 termasuk memburuknya kemiskinan dan putus sekolah di kalangan anak-anak perempuan yang secara langsung atau tidak langsung mendorong banyak keluarga ke situasi berbahaya termasuk menikahkan anak-anak perempuannya di usia muda.

Patut dicatat bahwa bahkan sebelum pandemi COVID-19, perkawinan anak di daerah tertentu di Indonesia cukup lumrah terjadi. Menurut Survei Nasional Sosial-Ekonomi (SUSENAS) 2018, satu dari setiap sembilan perempuan berusia 20-24 menikah sebelum usia 18 tahun atau mempengaruhi sekitar 1,2 juta perempuan muda.

Faktanya, Indonesia menempati urutan ke-8 jumlah pernikahan anak tertinggi di dunia. Beberapa provinsi di tanah air seperti Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Aceh dan Sulawesi Barat merupakan daerah dengan angka pernikahan anak yang tinggi. Dalam kondisi khusus seperti bencana alam, krisis kemanusiaan atau guncangan besar seperti pandemi, kejadian perkawinan anak bisa meningkat tajam. Alasannya, antara lain, orang tua ingin melepaskan beban ekonomi atau karena pertimbangan keamanan serta  kekhawatiran orang tua akan pelecehan seksual dan kehamilan anak yang tidak diinginkan.

Selain itu, pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 juga secara tidak langsung mendorong banyak siswa putus sekolah karena kurangnya sarana finansial dan teknologi untuk melanjutkan pendidikan.

READ:  M Zulficar Mochtar dan lawan seperjuangan

Banyak orang tua mengalami kesulitan ekonomi misalnya kehilangan pekerjaan atau penurunan tajam pendapatan dan tidak dapat mendukung anak-anak mereka bersekolah selama pandemi. Ini  kemudian memaksa mereka membiarkan anak-anak mereka meninggalkan sekolah dan menikah di usia dini.

Penelitian telah menunjukkan bagaimana pernikahan anak dan kehamilan pada usia dini memicu dampak merugikan secara  psikologis, kesehatan dan sosial-ekonomi yang berbahaya.

Perkawinan anak merupakan faktor penting yang berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia, tingginya prevalensi stunting atau kekerasan dalam rumah tangga dan dampak lain seperti meningkatnya  kejadian putus sekolah dan tingkat perceraian.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan komitmennya untuk menurunkan angka pernikahan anak dari 11,21 persen pada 2018 menjadi setidaknya 8,7 persen pada 2024, dengan upaya terintegrasi yang melibatkan semua lembaga negara terkait dengan dukungan dari organisasi internasional dan pemerintah asing.

Tujuan jangka panjangnya adalah untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yaitu penurunan angka menjadi 6,94 persen pada tahun 2030. Penurunan angka pernikahan anak juga telah ditetapkan sebagai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2020- 2024).

Lebih lanjut, Kementerian Perencanaan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah meluncurkan strategi nasional pencegahan pernikahan anak pada Februari tahun ini bekerja sama dengan United Nations Population Fund (UNFPA), UNICEF, Pemerintah Kanada dan Pemerintah Australia.

READ:  Sambut Hari Pangan Dunia 2020, Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unhas gelar webinar pemanfaatan WPP dan penciptaan lapangan kerja

Beberapa upaya bersama untuk mengatasi perkawinan anak juga telah dilakukan termasuk berbagai program untuk memperkuat kesadaran masyarakat tentang peraturan tentang perkawinan.

Apalagi, DPR telah mengesahkan amandemen undang-undang perkawinan Nomor 16 (2019) yang menaikkan usia minimal menikah menjadi 19 tahun, untuk kedua jenis kelamin. Pada usia 19 tahun, seorang individu dianggap matang secara fisik dan mental untuk masuk ke dalam lembaga perkawinan dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menghindari bahaya di atas.

Semua komitmen dan kebijakan pemerintah di atas baik tetapi sekarang sangat tertantang oleh pandemi COVID-19.

Pemerintah Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga-lembaga keagamaan kunci seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU)  serta lembaga-lembaga internasional harus menggabungkan sumber daya mereka untuk mengurangi dampak parah COVID-19, terutama bagi keluarga yang rentan serta bagi anak-anak perempuan dan perempuan muda agar mereka dapat meloloskan dari pernikahan dini.

Mendukung kalangan ini dengan sarana yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan adalah salah satu faktor pelindung terpenting seperti dirintis Kartini lebih dari seratus tahun yang lalu.

 

Penulis: Sudirman Nasir, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin dan senior fellow di Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR).