IKASMANSAMKS.ORG – Sosok Andi Masniawaty Yusran, di kalangan alumni Smansa Makassar angkatan 89 Makassar sudah lama dikenal sebagai akademisi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Unhas.
Meski demikian, tidak banyak yang tahu kalau dia adalah istri mantan Plt Wali Kota Makassar, Prof Yusran Yusuf. Beberapa kawan sekolahnya – termasuk penulis – tahu saat Prof Yusran didapuk jadi Plt Wali Kota tahun lalu.
Sebagai akademisi, sebagai ibu rumah tangga termasuk sebagai pendamping suami dengan karir luar biasa, Andi Masniawaty, atau lengkapnya Dr Andi Masniawaty Yusran, S.Si, M.Si adalah sosok inspiratif, sumber pengetahuan untuk kita semua.
Karena pertimbangan itu, IKA Smansa 89 Makassar atau yang kerap disebut SOSBOFI mendapuknya sebagai narasumber pada webinar mingguan, “Pengalaman menyiapkan pendidikan anak dan mengelola dinamika keluarga” pada Minggu 1 November 2020.
Bersama Waty, demikian sapaan akrab Andi Masniawaty hadir pula penanggap Tenri Csitara, ibu rumah tangga yang disebut sukses mengantar anaknya menjadi karyawan bank.
Tara, begitu panggilannya, disebut sukses mengelola rumah tangga meski berstatus ‘single parent’ sejak suaminya berpulang beberapa tahun lalu. Sebanyak 21 peserta mengikuti webinar yang juga dipandu Kamaruddin Azis ini.
8 fungsi keluarga
Dr Waty memulai paparannya dengan menjelaskan defenisi keluarga, menjelaskan tipe-tipe keluarga.
“Ada dua, keluarga itnti dan keluarga besar,” katanya. Inti untuk keluarga rumah tangga sementara keluarga besar, meliputi kakek-nenek dan sanak keluarga lainnya seperti paman-bibi.
Dia juga menguraikan delapan fungsi keluarga, seperti fungsi lingkungan, agama, ekonomi, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, fungsi reproduksi, perlindungan, hingga fungsi sosialisasi dan pendidikan.
Dia mengingatkan tentang kian bergesernya fungsi-fungsi ini dan menjadi tantangan untuk semua, siapapun.
“Mulai ada pergeseran, seperti nilai sopan santun, budi pekerti di masyarakat kita, hampir di setiap kita, orang tua, punya kebiasaan melihat anak-anak dengan handphone dan laptop,” katanya.
Dia menyebut ini dengan mengambil contoh bagaimana anak-anak di rumah kita semakin sulit diajak untuk berinteraksi dengan keluarga yang bertamu.
“Susah diajak keluar kamar, berinteraksi dengan keluarga yang bertamu, sekadar memberikan salim,” imbuhnya.
“Jadi kadang sedikit memaksa, untuk mengajak mereka. Pada kesempatan lain, kadang dengan memberi iming-iming, menjanji untuk dapat membeli kebutuhan mereka saat mengajak keluar, selalu ada syaratnya kalau diajak jalan bersama,” katanya tersenyum.
Tentang pedidikan, atensi keluarga Andi Masniawaty bisa dilihat pada upaya dia menjadkan rumahnya sebagai tempat belajar bagi anak-anak dan temanya.
“Rumah dipakai tempat belajar, daripada harus keluar rumah. Rumah kami sudah jadi markas belajar dua mahasiwa, kami memberikan fasilitas cukup untuk ajak teman-temannya belajar di rumah,” katanya.
“Kenapa, agar bisa bisa lelbh memantau bagaimana mereka berteman, termasuk memantua lawan jenis,” tambahnya.
Dua putri Waty dan Prof Yusran diterima di kedokteran Unhas.
Satu hal yang keluarga Waty tegaskan adalah bagaimana anak-anak untuk bisa mengatur keuangan.
“Pengalaman yang kami lakukan, memberi batas uang, perminggu, boleh membelanjakan uang seminggu sekian,” ucapnya.
“Dengan demikian, mereka akan berusaha menabung dan membelanjakan setelah uangnya cukup.”
Yang membanggakan bagi keluarga Waty adalah inisiatif anak-anaknya untuk kreatif.
“Pada masa pandemi, ada jiwa berwirausaha yang tumbuh, Ica, contohnya, anak kami nomor dua, jualan kaktus. Sementara kakaknya, Mutia, ternyata, sambil di rumah, yang belajar di rumah, berjualan minuman online,” katanya.
Cerita lain yang disampaikan Kapuslitbang Bioteknologi LP2M Universitas Hasanuddin ini adalah bahwa dia harus membiasakan anak-anaknya untuk dekat dengan tetangga, termasuk membiasakan mereka untuk buang sampah sendiri.
Filosofi panci
Bagi Waty, untuk menyiapkan pendidikan dan mengelola keluarga, perlu ada prinsip, harus ada filosofi.
“Saya pakai analogi panci. Apapun wadahnya, ukurannya, kalau tutupnya tidak pas, tidak akan berhasil. Dalam keluarga itu memang perlu seperti panci dan tutup yang tepat,” katanya.
Cara pandang itu juga sejalan dengan cara bersyukur pada pasangan hidup. Bahwa suami istri harus saling melengkapi.
“Bahwa Allah menciptakan seorang laki-laki, memilihkan, dari jutaan laki-laki untuk saya satu. Saya sangat bersyukur untuk memelihara pasangan baik-baik,” ucapnya
“Dalam dinamika pasti ada roda kehidupan,” imbuhnya.
“Kita hanya perlu ikhlas, sabar, syukur. Kalau bisa punya roda yang kecil saja, tidak perlu energi besar, kalau turun ke bawah, saya tidak akan merasakan sakit karena rodanya tidak terlalu besar,” tuturya.
“Bahwa setiap kegiatan harus ikhlas, selalu ikhlas, jangan selalu berharap, ikhlas dan jangan berharap dengan berpikir macam-macam dulu. Ikhlas dulu, kalau kemudian, akan ada bonus, ya kami jalani,” tambahnya.
“Berikutnya, bagimana dinamika, bagaimana rezeki. Ibarat wadah, kami tidak berharap memilii wadah yang besar, yang kami harapkan yang sedang saja,” lanjutnya.
“Wadah terlalu besar, energi banyak keluar, ada hak orang lain. Kalau kita mencukupkan rezeki, tidak usah terlalu besar dan gampang penuh. Kalau sudah penuh artinya, sudah tercukupi, atau ada lebihnya untuk orang lain,” ucap perempuan yang saat ini bersama suaminya memanfaatkan lahannya di Maros untuk mengadopsi apa yang dia sebut ‘1 kambing, 1 anak yatim’.
Program itu adalah upaya menghimpun donasi atau dana umum untuk bisa membeli kambing dan didedikasikan untuk anak yatim. Jika kambing beranak, anaknya bisa untuk anak yatim yang lain. Kurang lebih begitu.
“Dengan gelas yang sedang-sedang saja, kalau sudah lebih, bisa berbagi dengan orang. Kalau gelas terlalu besar akan telalu dalam. itu filosofi yang kami anut,” paparnya.
Tentang pendidikan anak, keluarga Waty dan Prof Yusran Yusuf lewati dengan mendidik natural saja.
“Artinya, yang umum saja, tidak memaksakan kehendak kami pada waktu mereka masih kecil,” jelasnya.
“Tetapi memang, kami memilih menitipkan anak dari pada dia di rumah dengan asisten. Dan sudah jelas, ada syarat yang harus dimiliki asisten di sana. Meski dikomplain, saya bilang ini demi kepentingan anak dan jauh lebih terjamin,” ucapnya.
Di pandangan Waty, hal tersebut bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak untuk mandiri. Anak-anaknya tergolong cepat menyelesaikan pendidikan terutama sejak TK dan SD.
Anaknya pun sempat masuk pesantren sebelum kembali ke sekolah umum.
Saat ini anak pertama Dr Waty, Mutia, ada pada semester 7 Fakultas Kedokteran Unhas sementara Icha anak keduanya lulus melalui jalur SMPTN di Kedokteran Unhas dan kini semeter 5.
“Bagi keduanya, kami tidak membatasi sebagai mahasiswa, mereka boleh ikut akivitas lain selain dari kuliah, Mutia kini masuk eskul menembak di Unhas, sementara si bungsu di UKM renang,” sebut Waty.
“Kami lebih fleksibel dalam memanfaatkan waktu, dosen tidak seperti yang lain yang masuk pagi sampai sore. Kesempatan berkumpul bisa lebih banyak. Untuk liburan, kami ada kesepakatan. Sesibuk apapun dalam satu tahun, ada liburan yang tidak boleh diganggu. bisa sekitar Makassar atau di luar,” jelasnya lagi.
Waty dalam beberapa kegiatan IKA Smansa 89 Makassar selalu hadir seperti Tenas Smansa tahun 2014, kemudian reuni 30 tahun di Bali.
Pengalaman Tara
Sementara itu Tenri Csitara yang diberikan kesempatan untuk berbagi pandangan tentang cerita Waty dan disandingkan dengan pengalamannya menyebut dia merasa beruntung juga bisa mengantar kedua anaknya bekerja di dunia perbankan.
Kehilangan suami bagi Tara sempat bikin shock meski kemudian dia harus bangkit, terutama mendampingi anak-anaknya.
Menurutnya, saat suaminya meninggal, dia dan anak-anak sempat down. Dua anaknya meski sempat menyelesiaan pendidikan kesarjanaan tidak serta merta diterima kerja.
“Syukurlah yang laki-laki setelah empat bulan selesai kuliah di Brawijaya, bisa diterima di BTN. Sekarang di Jakarta, yang kedua juga sudah bekerja di bank,” katanya.
Tara yang kini tinggal di sekitar wilayah perbatasan Gowa-Makassar ini, mengaku sangat terbantu dengan interaksinya bersama anak-anak alumni Smansa Makassar terutama angkatan 1989, SOSBOFI.
“Banyak teman-teman yang memberi semangat, memberi dukungan, terutama saat suami sakit,” katanya.
Penulis: K. Azis