“Saya tidak kuat, setengah tahun saya selalu disertai rasa cemas, setiap Jumat saya waswas, gempa kan berlangsung hari Jumat.” Lisa Indriani Arief, warga Kota Palu.
IKASMANSAMKS.ORG – Gempa Palu dan sekitarnya yang disusul tsunami dua tahun lalu merenggut 4 845 jiwa dan 172 999 warga mengungsi. Ini adalah tragedi yang memilukan dan sulit dilupakan.
Khusus Kota Palu, ada 2 608 warga dilaporkan meninggal, salah satunya kakak perempuan dari Lisa Indriani Arief, alumni Smansa Makassar angkatan 89 yang berdomisili di Palu dan berprofesi sebagai akademisi.
Kenangan Lisa
Saat satu persatu rumah rubuh, jalanan retak, orang-orang berteriak dan kelimpungan di tengah goyangan, Lisa sedang pulas. Dia sendirian, suaminya Arief Sutte Daeng Nyanrang ada di wilayah tetangga, Sigi, sekitar 40 kilometer dari Palu sementarnya anaknya tak jelas rimbanya.
Detik-detik saat Palu digoyang gempa, pesisir Talise hingga Donggala dilumat tsunami, Petobo dan Biromaru ditelan likuifaksi, Lisa sedang tidur. Dia terbangun setelah gempa dan mendapati suasana chaos.
“Saya tidur. Terbangun saat sudah mau masuk waktu magrib padahal ashar belum, saya salat saja,” katanya saat berbagi cerita tentang kenangannya pada gempa yang terjadi pada 28 September 2018, atau pas dua tahun lalu ini.
Lisa berbagi kisah melalui aplikasi Zoom di depan sahabat SMA-nya atau biasa disebut SOSBOFI Smansa 89 Makassar, (27/9)
Acara ini adalah webinar seri ketiga berjudul ‘2 Tahun Gempa Palu: Kenangan Warga dan Hikmah di baliknya’ yang digelar oleh IKA Smansa 89 Makassar ini dimoderatori akademisi Muh Fajri Raharjo, S.T, M.T, akademisi Politeknik Unhas Makassar.
“Saya bersyukur bisa bertemu anak saya, Falah, pada pukul 8 malam, sementara suami belum ada kabar,” kenang Lisa. Suaminya, adalah aktivis LSM dan aktif di upaya pengelolaan rotan sekembali dari Jepang.
“Lagi keluar kota saat itu,” imbuhnya.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi di sekitar Pantai Kota Palu kemudian, sementara kakak perempuan saya sedang mengantar tamu, sahabatnya, ke daerah pantai Kota Palu saat itu yang disebut kena tsunami,” lanjutnya.
Tidak lama setelah gempa, Lisa lalu menyempatkan diri keluar rumah dan menjadi penyaksi jenazah yang bergelimpangan.
“Jenazah-jenazah depan rumah warga sudah dibungkus. Warga terdiam, tidak tahu mau bikin apa,” ucapnya. “Siapa yang akan kubur, susah mungkin ya. Siapa yang gali kubur.”
Menurutnya, saat itu, jalur keluar Kota Palu terputus pula, jalan putus, jembatan rubuh, koneksi telepon dan internet teputus. Dia galau berat karena suaminya belum ada kabar. “Saya mau cari suami yang sedang di Sigi. Empat hari kami putus hubungan,” akunya.
“Beberapa hari setelah bencana, kami habiskan hari-hari di rumah kakak. Terus berdoa, semoga suami dan kakak saya selamat,” katanya.
Kakak Lisa yang saat gempa ada di sekitar Pantai Talise Palu, ditemukan meninggal dunia sementara temannya selamat setelah digulung tsunami dan terdampar di ketinggian.
“Kakak ditemukan meninggal. Saya yang mandikan, karena saat itu hanya saya saudara kandungnya. Kakak tertua menetap di Makassar. Saat saya mandikan jenazah kakak saya, suami datang,” katanya dengan suara bergetar.
Dia bercerita, pada hari pertama pasca bencana sangat susah untuk bergerak, selain karena jalan banyak rusak, sulit dilalui juga karena bensin langka.
“Hari pertama dan kedua saya tidak bisa tidur, mau tutup mata tapi tidak bisa, takut. Suami bilang perbanyak zikir, di manapun bisa mati, pasrah saja,” kata Lisa. “Saya tidak kuat, setengah tahun saya selalu disertai rasa cemas, setiap Jumat saya was-was, gempa kan berlangsung hari Jumat ya.”
“Anak saya, Falah, malah yang lebih kuat. Saya juga henti kuliah selama setahun, otak tidak konsen, setahun saya cuti,” ucapnya. Lisa saat itu sedang mengikuti kelas doktoral
“Untungnya di hari pertama, kami dapat bensin. Sebelumnya hanya bisa tinggal di rumah saja. Saat banyak warga menyampaikan bahwa di luar rumah keadaan serba susah dan banyak yang kelaparan, saya malah belum sepenuhnya sadar seberapa besar dampak gempa dan tsunami. Saya baru bisa merasakan kesulitan saudara-saudara kami di Palu justru setelah saya ke Makassar. Pas bisa buka internet dan melihat semua foto, video dan lainnya, belum lagi lihat likuifaksi,” paparnya.
“Ngilu sampai di tulang-tulang,” ucapnya mengekspresikan rasa pilu dan duka yang mendera. “Padahal, saat masih di rumah kakak di Palu, kami bahkan sempat bikin Coto Makassar. Kebetulan masih ada stok bumbu dan daging.. Saya tidak tahu kalau orang di luar rumah saat itu susah makan.”
“Kami pasrah, kami buat apa yang bisa, saya terima dengan ikhlas. Saya merasa justru terlindungi, sampai saya bilang Allah sayang saya. Alhamdulillah,” lanjutnya.
Beberapa hari setelah gempa, setelah pemakaman kakaknya, Lisa ke Makassar. Dia di Makassar selama sebulan. “Suami di Palu jadi relawan sementara anak sekolah di Makassar,” katanya.
“Sebulan berlalu saya balik ke Palu. Bagi saya sendiri, bencana Palu ini luar biasa. Hingga hari ini saya masih belum kuat untuk mendatangi tempat-tempat bencana seperti likuifaksi, tidak mau sedih atau menangis,” katanya.
“Saat saya pulang ke Palu itu, jalan-jalan sudah diperbaiki, jalan sudah baik, rumah makan sudah banyak yang buka, karena banyak relawan yang butuh makan. Hotel-hotel besar, terutama yang bertingkat atau berlokasi dekat pantai belum ada yang buka,” ucapnya lagi.
“Hotel-hotel sudah buka, terutama yang rusak ringan, dan yang tidak bertingkat. Tamu dan relawan lebih suka tinggal di hotel yang hanya satu lantai atau di homestay,” tambahnya.
Setelah kampus tempatnya mengajar buka, dia sempatkan menyapa anak didiknya..
“Sebenarnya tidak mengajar, lebih sekadar tatap muka, saling berbagi kabar. Ada mahasiswi saya namanya Uci, bilang, Alhamdulillah rumah kami selamat, rumah kami tidak hilang atau tidak tenggelam. Anak ini tinggal di Kelurahan Petobo, daerah yang paling parah terkena dampak likuifaksi,” tambahnya.
Lisa mengapresiasi beberapa pihak karena dalam setahun, situasi Palu membaik, hal yang disebutnya di luar perkiraannya mengingat besarnya dampak kerusakan karena gempa dan tsunami itu.
Palu pasca bencana memberi inspirasi untuk aktivitas masyarakat berkembang ke arah atas (bukit), “Kafe-kafe banyak yang pindah ke lereng. Mungkin warga sudah lama ‘haus’ hiburan kali ya, jadi kafe-kafe itu sudah buka kembali” ucapnya.
Menurut Lisa, bisa jadi dampak gempa paling berat itu di Kabupaten Sigi. “Dan di Sigi ini kita bisa lihat dampak gempa dalam jangka panjang.. Saat banjir bandang beberapa waktu lalu ada setidaknya 65 rumah yang rusak atau hilang diterjang banjir,” ujarnya.
“Jadi pasca gempa dan tsunami masih ada ancaman banjir bandang, longsor sesekali,” jelasnya.
Menghidupkan harapan
Meski Lisa dan keluarga kecilnya selamat dari bencana, selama setengah tahun setelahnya, Lisa masih hidup dalam suasana tertekan. Tertekan oleh kenangan pahit, jadi penyaksi para korban dan sempat tercerai berai dengan anggota keluarga karena gempa dan tsunami. Dia beruntung sebab anak dan suaminya sangat optimis memandang hidup.
“Kita tidak tahu, di mana kita akan mati. Jadi terus berzikir dan tawakkal saja.” Seperti itu harapan suaminya, bahkan oleh anak semta wayangnya Falah yang khatam dan hafal kandungan Alquran ini.
Setelah setahun cuti kuliah, Lisa melanjutkan studi S3-nya yang tertunda dan berhasil meraih gelar doktor. Anaknya pun lanjut sekolah di Makassar dan kini sedang memulai perjalanan baru sebagai mahasiswa baru di Tanah Jawa.
Selain aktif mengajar dan meneliti di kampus, Lisa dan suami mengisi hari-harinya memanfaatkan keterampilan dan pengalaman mereka dengan menginisiasi organisasi yang bergerak pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti beberapa spesies rotan.
Belantara Sulawesi Tengah tepatnya di Sigi, salah satu kabupaten yang juga dilanda bencana kaya akan berbagai jenis rotan. “Kami mulai pendampingan masyarakat pada 2011. Sudah lama, bukan saya sih sebenarnya, tapi suami,” akunya.
Lisa dan suami adalah jebolah Jurusan Ilmu Tanah Unhas dan keduanya pernah tinggal di Jepang. Jangan diragukan kemampuan berbahasa Inggris atau Jepangnya.
“Pasca proyek produk rotan tersebut warga Sigi, malah ingin kami terus ada di sana. Warga bahkan menawarkan dan memberikan tanah, asal kami bisa tinggal mendampingi masyarakat. Masyarakat minta, tanah mereka digarap, saya bilang kenapa tidak?” lanjut Lisa.
Lisa tahu bahwa modalnya tak cukup, dana tak memadai untuk mengolah lahan. “Tapi karena diminta oleh masyarakat dan kami semangat, walau dimulai dengan modal sedikit, hasilnya cukup memberi harapan. Alhamdulillah ada beberapa kawan bisa dikatakan penyadang dana bisa membantu,” katanya.
“Kami sempat ada program pembagian ayam kampung ke warga Sigi untuk diternakkan. Hanya ada beberapa masyarakat yang merespon. sayangnya ada kendala saat itu. Meskipun sudah dijaga, masih banyak yang dicuri juga. Warga sepertinya lebih senang adanya bantuan uang tunai ketimbang usaha seperti beternak ayam,” imbuhnya disertai senyum.
“Ini yang bikin kami nyaris putus asa, ayam banyak yang dicuri, kemudian tidak ada lagi warga yang mau jaga,” tambahnya.
Menurut Lisa, untuk membangun Palu termasuk Sigi, pengembangan ekonomi warga harus terus didorong, tapi ini tergantung masyarakat juga. Warga harus punya pandangan jangka panjang. Tak tak bisa bergantung terus pada bantuan.
Saat ini, Lisa sedang merintis produk dari lahan kebunnya di daerah Sigi dengan menanam sereh.
“Tanah kami dan lahan pemberian warga dijadikan lokasi tanaman sereh. Harapannya bisa dijual ke industri, produk mentah ke Jawa, jadi minyak atsiri,” katanya.
“Saya bertanya-tanya, apa sih yang bisa dilakukan atau menjadi pekerjaan bagi masyarakat setempat? Maka kami merintis dan menjual minyak sereh, sabun mandi sereh hingga teh sereh,” katanya seraya menunjukkan produk olahannya yang disebut berkhasiat untuk kesehatan ini.
Lokasi dampingan Lisa dan suaminya adalah Desa Walatana, kabupaten Sigi. “Kami sudah 4 tahun tanam sereh di sana, tetapi processing baru jalan 2 bulan terakhir. Awalnya ide dari Bogor tentang sereh wangi. Kami ada lahan total 17 hektar bisa ditanami sereh,” jelasnya.
Dia kini mempromosikan minyak sereh wangi dengan merk “Citramella” dan teh sereh “Potensi Plus”.
Perlunya Penataan ruang dan kesiapsiagaan bencana
Setelah sesi kenangan warga Palu dengan mendengarkan cerita inspiratif Lisa Indriani, dilanjutkan oleh alumni Smansa Angkatan 89 yang lain. Taswin Munier, alumni Smansa Makassar angkatan 89 yang merupakan praktisi perencanaan pembangunan berkelanjutan dan penggiat lingkungan.
Taswin saat ini bekerja pada salah satu organisasi antar pemerintah (inter-government organization) yang mengusung platform pertumbuhan hijau.
Dia menyebut bahwa ada yang unik dari gempa dan tsunami Palu ini. “Tsunami Palu menerjang pesisir Donggala, Palu dan Sigi setelah gempa yang sebenarnya tidak terlalu kuat, 7,7 skala richter, dan tiba di pantai hanya dalam waktu 2-3 menit setelah gempa. Padahal umumnya tsunami terlihat menuju pantai 10-20 menit setelah gempa besar 9.1 SR seperti di Banda Aceh pada Desember 2004 lalu. Tsunami Palu di luar perkiraan banyak ahli, baik dari sisi penyebabnya, magnitudo maupun dampak yang ditimbulkan,” kata pria yang membawakan materi berjudul pembelajaran dari gempa Palu dan sekitarnya ini.
Saking tidak biasanya, beberapa stasiun pengamat di Jepang dan Hawaii tidak mendeteksi potensi tsunami. Itulah sebabnya, mengapa Badan Meteorogoli dan Geofisika (BMKG) Indonesia yang saat itu memberikan peringatan tsunami setelah gempa Palu, kemudian segera menghentikannya beberapa menit berselang.
Dia lalu menampilkan data peristiwa gempa besar di Indonesia sejak tsunami Aceh pada Desember 2004 lalu. Ternyata hampir setiap tahun sejak Aceh, kita mengalami kejadian gempa besar, yang sebagian memicu tsunami. Di antaranya di Nias, pantai selatan Jawa, Padang, Mentawai, Pidie, Lombok, Anyer hingga gempa yang memicu tsunami dan likuifaksi di Palu. Ribuan orang meninggal dan menyisakan duka mendalam.
“Dari data BNPB, korban gempa-tsunami Palu yang mengungsi mencapai 172.999, dari empat wilayah, Kota Palu, Donggala, Sigi dan Parigi, 2.608 warga yang meninggal, 40 738 warga mengungsi,” papar Taswin.
Namun bagi Taswin dampak dan kerugian terbesar bukan hanya materi, tapi juga non materi, yang dapat dilihat pada banyaknya anggota keluarga meninggal, hilang atau yang terpisah, dan hingga kini belum kembali.
“Anak-anak yang terpisah dari orang tua, kehilangan tempat tinggal, teman dan tempat bermain, teman belajar dan sekolah, kehilangan pekerjaan, trauma saat berada dekat laut atau jika ada getaran atau suara gemuruh, kehilangan kepercayaan diri, dan lainnya.” imbuhnya.
Jebolan Jurusan Perikanan Unhas Makassar dan program Ilmu Lingkungan Melbourne University ini menambahkan. “Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki oleh pemerintah maupun masyarakat. Ini kalau kita mau belajar dari setiap kejadian bencana. Pertama pastinya perlu edukasi warga tentang kesiapsiagaan bencana atau pendidikan tanggap bencana baik di sekolah maupun di rumah dan lingkungan sekitar. Tidak hanya dalam bentuk kelas, tapi juga latihan atau praktik menghadapi bencana, seperti cara evakuasi, membuat jalur keselamatan, dan lainnya.”
Selain itu, lanjut Taswin, kerjasama sosial atau kelompok-kelompok masyarakat perlu diperkuat, selain untuk tangguh dan tangap bencana, juga bisa meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat berbasis RT dan RW.
“Sementara dari sisi Pemerintah, perlu banyak berbenah, terutama dalam skema perencanaan dan pengaturan ruang serta kegiatan pembangunan. Langkah antisipasi dan pengurangan resiko bencana serta kawasan dan infrastruktur penanganan bencana perlu diadopsi ke dalam dokumen perencanaan seperti RTRW atau rencana tata ruang wilayah, RDTR rencana detail tata ruang, RZWP3K rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan lainnya. Tanpa upaya semacam itu kita hanya mengulang kesalahan yang sama,” katanya.
“Visi misi calon kepala daerah yang akan maju Pilkada sudah harus berdasarkan prinsip-prinsip yang sama. Bahwa rencana pembangunan yang mereka cita-citakan harus selalu merujuk pada ketersediaan ruang atau spasial, kemampuan lingkungan hidup atau ekosistem yang ada. Tidak boleh dipaksakan,” tegasnya.
“Itu yang harus kita lakukan di Palu dan daerah lainnya. Jadi kita bereaksi sebelum kejadian, bukan setelah bencana, seperti yang selama ini terjadi,” lanjutnya.
Taswin juga membandingkan beberapa peta RTRW Kota Palu sebelum dan sesudah bencana yang direvisi bersama pemerintah pusat. “Terlihat jelas perencanaan ruang dan kegiatan pembangunan di peta yang baru telah mengadopsi zona yang berpotensi bencana, buffer zone, jalur evakuasi, zona aman, dan lainnya.”
Dia juga menegaskan bahwa sejatinya area pantai Talise yang juga pusat keramaian kota Palu, dan di sepanjang pantai tidak boleh ada bangunan lagi karena merupakan zona rawan tsunami.
“Sementara beberapa ratus meter setelahnya adalah zona penyangga, dimana kantor, pertokoan dan pusat bisnis lainnya hanya dibolehkan dengan pergerakan orang yang terbatas. Pusat keramaian sebaiknya ada di zona aman, yakni di belakang zona penyangga yang telah ditentukan,” tambahnya.
“Saat ini masyarakat sudah dapat mengecek secara mandiri potensi kebencanaan di daerah tempat tinggal atau beraktivitas mereka. Cukup dengan mengunjungi website “inaRISK” milik badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB. Sangat mudah karena aplikasinya berbasis web dan users’ friendly,” ucapnya.
“Lanjutkan dengan mengetik nama kota atau kabupaten tempat bermukim kita, langsung muncul petanya. Di sisi kanan atas akan ada pilihan mengenai tipe bencana, tingkat bahayanya, informasi jumlah penduduk, topografi, bathymetri dan info lain yang menurut kita relevan dengan kebutuhan akan informasi terkait potensi ancaman bencana yang ingin kita ketahui. Sangat mudah, tinggal dicentrang saja. Setelah dirasa cukup, klik apply, dan peta inaRISK akan menampilkan peta tematik yang lengkap dengan informasi visual tentang seberapa rentan daerah kita terhadap bencana tertentu,” jelasnya.
Hal lain yang juga disampaikanya adalah perlunya keterhubungan antar komunitas, dan dalam satu komunitas yang sama, yang bisa dimulai pada unit organisasi pemerintahan terendah seperti RT dan RW, sebagai pusat pendataan, koordinasi dan juga sumber pasokan bahan atau kebutuhan sehari-hari, yang pastinya akan sangat berguna saat bencana.
“Pemerintah dan masyarakat harus punya point of contact atau titik koordinasi atau hub pemasok pangan di tiap komunitas, paling mungkin di tingkat RT atau RW sehingga saat bencana, tidak perlu kelamaan menunggu pasokan dari pemerintah dan dapat mandiri bahkan menolong komunitas lain di dekatnya. Model hubungan intra dan antar komunitas ini dapat menjadi penyelamat saat ada bencana,” paparnya lagi.
Dia menyebut perlunya upaya kemandirian warga, komunitas. “Mandiri dari sisi kapasitas, mandiri secara ekonomi, maka akan mandiri pula untuk hal lainnya, termasuk dalam mengantisipasi potensi bencana.”
“Kita butuh melakukan banyak edukasi tentang bencana, semacam pendidikan tanggap bencana, baik di keluarga, sekolah maupun di lingkungan luar sekolah. Untuk meminimalkan biaya, dapat memanfaatkan warga dengan system ToT atau pelatihan berjenjang,” tambahnya.
“Jangan selalu terhalang karena biaya, karena pemerintah juga terbatas anggarannya. Kita butuh berinovasi dengan alternatif pembiayaan mandiri atau tanpa biaya, dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaksana sekaligus target kegiatan,” jelasnya.
Tanggapan peserta
Insar Anas, salah seorang peserta webinar menanggapi paparan kedua pembicara bahwa memang perlu standar penanganan terhadap korban bencana. Misalnya jika dikaitkan Covid-19, sanitasi harus ter-update,
“Bagaimana kesiapsiagaan di akar rumput, ketimbang berharap pemerintah. Perlu pelaporan sistem bencana, seperti pada awla-awal PSBB,” kata alumni Smansa 89 Makassar yang kini tinggal di Tangerang ini.
Sementara itu, Muhammad Arafat, anggota SOSBOFI yang punya pengalaman di dunia perbankan menyebut bahwa untuk mengembangkan usaha seperti teh sereh, sabun sereh, yang dirintis Lisa perlu ditopang oleh kekuatan produk.
“Pada peta dan sebaran pasar serta pemasarannya. Jadi tidak sekadar memproduksi tanpa ada informasi awal tentang siapa pasarnya,” katanya.
Dia setuju bahwa untuk sampai pada menghasilkan produk tertentu pada hal pertama yang bisa dilakukan ada survey pasar. “Intinya pada kekuatan produknya,” tandasnya.
Hasbullah Bo, peserta lainnya, menambahkan bahwa untuk keberhasilan program-program pemulihan ekonomi pasca bencana seperti di Palu, maka yang diperlukan ada kejelasan data dan informasi tentang penerima bantuan.
“Banyak kelompok perempuan yang semestinya mencapat perhatian atau menjadi penerima bantuan pasca bencana tapi tidak dimasukkan, tidak terdata. Padahal mereka ini yang sangat terdampak. LSM, atau pengelola program harusnya tidak melupakan mereka-mereka ini, karena faktanya, mereka ini lebih tangguh,” pungkasnya..
Penulis: K. Azis